Darussalam.co.id - Pemuda itu wajarnya identik dengan idealisme dan semangat kerja
keras. Dua modal yang akan sangat mubadzir apabila tidak didayagunakan.
Sebagaimana mungkin telah kita ketahui bahwa pemuda ialah warga negara
Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan
yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun (UU No. 40 Th.
2009). Karena memiliki dua hal itulah sepatutnya kita yang notabenenya
masih tergolong pemuda sudah mulai melakukan segala aktivitas kita
minimal dilandasi dengan dua nilai itu.
Orang-orang besar saat ini
adalah mereka yang berjuang keras dengan dibalut idealisme mapan sejak
mereka menjadi mahasiswa. Mengacu kepada KBBI, idealisme sangat erat
kaitannya dengan patokan, keyakinan, prinsip, atau pedoman dalam hidup
yang kita yakini sebagai hal yang sempurna dan benar. Tentu idealisme
tertinggi kita sebagai Muslim di sini ialah ajaran Islam yang
berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Lalu, dari mana kita bisa
mengasah sekaligus belajar mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
nilai keras dan bekerja dengan idealisme? Apakah yang kita pelajari
dalam perkuliahan sehari-hari tidak cukup untuk itu? Dalam sebuah
kesempatan wawancara dengan majalah Sabili, DR. HM. Syahrial Yusuf, MM,
MBA, pengusaha dan pendiri LP3i, mengisahkan bahwa ada dua hal yang
sebaiknya jadi prioritas kita saat masih diberi kesempatan menjadi salah
satu member “kelompok intelektual”, yaitu: AKTIF BERORGANISASI dan ASAH
JIWA ENTREPRENEURSHIP.
Sepertinya sudah menjadi rahasia
umum bahwa partisipasi aktif kita di organisasi diyakini akan membawa
dampak positif terhadap pelakunya. Menurut Ust. Hepi Andi Bastoni,
paling tidak ada empat keuntungan dari aktifnya kita di organisasi:
1. Mengetahui Potensi dalam Diri Kita
Kita
akan mendapat banyak kesempatan untuk melakukan banyak hal positif.
Pada waktunya nanti kita akan menemukan di bidang apakah potensi
terbesar yang kita miliki. Dengan mengetahui potensi terbesar dalam diri
akan memudahkan kita melangkah menuju masa depan kita.
2. Melatih Berlapang Dada Saat Beda Pendapat
Tidak
mudah menerima perbedaan pendapat dalam menyikapi suatu hal. Dalam
dinamika organisasi, beda pendapat adalah hal yang biasa. Kita akan
selalu berusaha mencari titik temu saat terjadi hal ini. Jika pun belum
ditemukan benang merahnya, maka dengan “naluri organisatoris”-nya, maka
masing-masing individu tadi akan berusaha saling menghormati. Bahkan
apabila pendapat orang lain yang diterima sebagai suara organisasi, kita
akan mencoba untuk berlapang dada menerimanya sebagai bagian dari
organisasi itu pula.
3. Terbiasa Berargumentasi
Contoh
sederhananya ialah masih banyaknya dijumpai politisi dari parpol Islam
yang belum lihai berargumentasi ilmiah sehingga bisa meyakinkan rekan
sesama politisi. Pernah ada kejadian terjadi debat antara politisi.
Karena mungkin kehabisan ‘amunisi’, tiba-tiba seorang politisi membawa
argumen yang berdasarkan pada salah satu hadits Rasulullah SAW. Spontan
rival debatnya dengan enteng hanya mengatakan, “Ini bukan masjid, Bung!”
Memang tidak salah kita membawa Al-Qur’an atau Al-Hadits untuk kita
sampaikan sebagai dasar argumen kita. Tapi, harus kita ketahui pula
bahwa tidak semua orang bisa menerimanya. Di sinilah letak pentingnya
kebisaan kita menyusun argumentasi yang baik, runtut, berbobot, dan
kontekstual. Kehidupan organisasi akan melatih kita bagaimana untuk bisa
melakukannya. Kata Ust. Hepi Andi, “Pintar itu penting. Tapi, bagaimana
cara mengemas argumen kita dengan baik adalah hal lain.”
4. Memiliki Banyak Kenalan
Saat ini sudah terbukti, mereka yang survive ialah mereka yang menggenapi skill pribadi dengan luasnya networking
(jaringan). Mungkin inilah salah satu bukti sabda Rasulullah SAW. :
“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezkinya, dan ingin dipanjangkan
usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturahim.”(HR. Bukhari)
Saking
pentingnya keberadaan pengusaha/ wirausaha (entrepreneur),
sampai-sampai dijadikan salah satu indikator maju atau tidaknya suatu
negara. Berdasarkan apa yang Ust. Hepi Andi sampaikan dan ternyata
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Syarifuddin Hasan
(26/2/2011), pernah menyampaikan melalui surat kabar Kompas bahwa jumlah
wirausaha Indonesia baru mencapai 0,24% dari seluruh jumlah penduduk
Indonesia. Saat ini jumlah penduduk Indonesia mengacu pada apa yang
disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, ialah sekitar 259
juta jiwa (19/9/2011). Bisa kelihatan betapa sedikitnya jumlah entrepreneur negeri ini. Sebagai gambaran kita saja, Amerika Serikat sebagai negara maju 11% penduduknya ialah entrepreneur. Sementara itu, jumlah entrepreneur di
negeri tetangga kita, misalnya Singapura sudah mencapai 7% dan Malaysia
5% dari total penduduknya. Sekadar untuk diketahui, ternyata suatu
negara akan bisa menjadi negara maju jika jumlah entrepreneur mencapai angka minimal 2%. Apakah kita akan diam saja?
Perlu
kita ketahui pula bahwa ada sebuah riset menyimpulkan bahwa rata-rata
ambang batas kesuksesan secara materi seseorang ialah antara umur 40-50
tahun. Artinya, ketika sudah berumur 40 tahun dan belum banyak yang bisa
kita dapatkan di dunia ini, maka hidup kita bisa dianggap tidak sukses
secara materi. Padahal idealnya seorang Muslim itu kuat iman, keilmuan,
jasmani, dan juga ekonominya. Satu sama lain akan saling menunjang
optimalnya peran kita sebagai bagian dari barisan penyeru kebaikan
(da’i). Riset ini seakan mengamini apa yang Allah SWT nyatakan dalam QS
Al-Ahqaf: 15. Secara eksplisit di ayat ini digambarkan bahwa pada usia
40 tahun seorang Muslim sebaiknya sudah mapan secara ekonomi, tinggal
saatnya bersyukur terhadap karunia tersebut saja.
Sebagai tambahan, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ada 4 hal yang menjadi parameter kebahagiaan seorang Muslim, yaitu:
1. Istri/ suami yang shalih/ shalihah
2. Rumah yang luas
Dr. Yusuf Qaradhawi: Yang dimaksud “rumah yang luas” ialah rumah dengan minimal memiliki 6 kamar.
3. Kendaraan yang nyaman
4. Tetangga yang shalih dan shalihah
Di
sinilah peran kita diperlukan untuk partisipasi aktif dan berinisiatif
tinggi dalam upaya menciptakan lingkungan rumah yang kondusif untuk
menjalankan keislaman kita.
Kita tidak tahu kapan malaikat maut
akan menjemput kita, jadi jangan terlena dalam masa menunggu dan
menunggu. Manfaatkan masa muda kita untuk masa depan kita. Jangan sampai
kita tersadar saat usia diri ini sudah kembali lemah seperti saat
anak-anak atau bayi dahulu. Ust. Hepi Andi berujar, “Salah satu hakikat
manusia itu ialah lemah dan pada saatnya nanti akan kembali lemah”. Akan
tetapi, tetap harus kita usahakan untuk menyeimbangkan antara
kepentingan pribadi dan umat. Hal ini penting karena sebagai ciri khas
seorang Muslim untuk selalu mengupayakan menjadi pribadi yang bermanfaat
bagi sebanyak mungkin makhluk Allah SWT yang lain. Kesimpulan sederhana
dari itu semua ialah: Mari mulai gelorakan semangat “Yang Muda Yang
Berkarya” saat ini juga! Hari esok adalah misteri yang hanya Allah
mengetahui secara pastinya. Tugas kita ialah berkarya dulu untuk hari
ini. Biarkan Allah Azza Wajalla dengan iradah-Nya menentukan apa yang
akan terjadi nanti.
Keep Hamasah.
Allahu Akbar….!
—
Tulisan
ini dikompilasikan dari berbagai sumber dan banyak mutiara hikmah yang
disampaikan Ust. Hepi Andi Bastoni (penulis dan mantan jurnalis Islam)
pada agenda Rihlah dan Silaturahim KAMMI Komisariat Madani pada tanggal 9
Dzulhijjah 1432 H/ 5 November 2011 M bertempat di Pendopo rumah beliau
di Perum Taman Kenari, Bogor.
Posting Komentar